PERAN RESUME MEDIS DALAM MENUNJANG KEBERHASILAN KODING DIAGNOSIS PASIEN BPJS KESEHATAN
Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs) dianggap lebih universal karena dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan local dan Intelectual Property (IP) bisa dimiliki. Melalui INA-CBGs dapat terbaca oleh kode ICD 10 dan ICD 9 dengan mudah karena menggunakan 5 digit yang terdiri dari alphabet dan numerik yang ekuivalen dengan kode ICD 10 untuk diagnosa (14.500 kode) dan ICD 9 untuk prosedur/tindakan (7.500 kode) yang dikelompokkan menjadi 1077 kode CBG (789 rawat inap dan 288 rawat jalan). Salah satu tujuan dibuat Lembar Resume adalah untuk memenuhi permintaan dari badan-badan resmi atau perorangan tentang perawatan seorang pasien, misalnya dari perusahaan Asuransi (dengan persetujuan Pimpinan). Lembar resume merupakan lembaran pada bagian akhir catatan perkembangan atau dengan lembaran tersendiri yang singkat dan menjelaskan informasi penting tentang penyakit, pemeriksaan yang dilakukan dan pengobatannya serta harus ditulis segera setelah pasien keluar. Resume medis ini di gunakan sebagai dasar penentuan koding di paketINA CBG’s. Koding Diagnosis merupakan suatu Proses pengklasifikasian data (diagnoses) & Penentuan code (sandi ) nomor/alfabet/ atau alfanumerik untuk mewakilinya.
- Isi dari lembar Resume.
Lembar resume berisi antara lain :
- RM
- Nama
- Umur
- Jenis Kelamin
- Suku bangsa
- Agama
- Kelas atau bangsal
- Tanggal masuk
- Tanggal keluar
- Diagnosa waktu masuk dirawat
- Diagnosa akhir
- Operasi
- Ringkasan riwayat penemuan fisik penting :
- Riwayat
- Pemeriksaan fisik
- Hasil-hasil laboratorium rontgen dan konsultan (yang penting ).Perkembangan selama perawatan dengan komplikasi (jika ada)
- Keadaan pasien, pengobatan, kesimpulan pada saat keluar dan prognosa
- Tanggal
- Tanda tangan dan nama dokter.)
Dasar pengelompokan dalam INA-CBGs menggunakan sistem kodifikasi dari diagnosis akhir dan tindakan/prosedur yang menjadi output pelayanan, dengan acuan ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9-CM untuk tindakan/prosedur. Pengelompokan menggunakan sistem teknologi informasi berupa Aplikasi INA-CBG sehingga dihasilkan 1.077 Group/Kelompok Kasus yang terdiri dari 789 kelompok kasus rawat inap dan 288 kelompok kasus rawat jalan. Setiap group dilambangkan dengan kode kombinasi alfabet dan numerik (Depkes RI 2014)
Gambar 2.1
Struktur Kode INA CBG
Keterangan :
- Digit ke-1 merupakan CMG (Casemix Main Groups)
- Digit ke-2 merupakan tipe kasus
- Digit ke-3 merupakan spesifik CBG kasus
- Digit ke-4 berupa angka romawi merupakan severity level
Sistem Informasi Rumah Sakit yang selanjutnya disingkat SIRS adalah suatu sistem teknologi informasi komunikasi yang memproses dan mengintegrasikan seluruh alur proses pelayanan Rumah Sakit dalam bentuk jaringan koordinasi, pelaporan dan prosedur administrasi untuk memperoleh informasi secara tepat dan akurat, dan merupakan bagian dari Sistem Informasi Kesehatan. Salah satu manfaat SIRS adalah memiliki kemampuan komunikasi data (interoperabilitas) dengan Indonesia Case Base Group’s (INA CBG’s) (Kemenkes ,2013)
Syarat supaya SIRS dapat dilakukan bridging dengan aplikasi INA-CBG’s adalah SIRS telah menampung atau menyimpan 14 (empat belas) variable yang dibutuhkan dalam INA-CBG’s.
Ke empat belas variable tersebut adalah : Identitas Pasien (no RM, dll), Tanggal masuk RS, Tanggal keluar RS, Lama Hari Rawat (LOS), Tanggal Lahir, Umur (th) ketika masuk RS, Umur (hr) ketika masuk RS (pd bayi), Umur (hr) ketika keluar RS, Jenis kelamin, Status keluar RS (outcome), Berat Badan Bayi Baru Lahir (gr), Diagnosis Utama didasarkan pada ICD X, Diagnosis Sekunder (Komplikasi & Komorbiditi) didasarkan pada ICD X, Prosedur medis didasarkan pada ICD9-CM
Aplikasi INA-CBG’s menyediakan fitur import. Fitur import digunakan untuk memasukan data secara masal dari SIRS dalam bentuk file text dengan struktur tertentu. Tidak penting cara menggunakan software tersebut, misalnya dengan membuat file text untuk dilakukan import data, yang terpenting adalah isi dari file text memenuhi syarat dengan standar yang telah ditentukan.
CBG’s adalah kepanjangan dari Case Base Groups yaitu sebuah sistem pembayaran dengan sistem paket, berdasarkan penyakit yang diderita pasien. Untuk lebih gamblang, sebuah contoh misalnya, seorang pasien menderita demam berdarah. Dengan demikian, sistem INA-CBG’s sudah menghitung layanan apa saja yang akan diterima pasien tersebut, berikut pengobatannya, sampai dinyatakan sembuh. Dalam pembayaran menggunakan CBG’s, baik Rumah Sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG. Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis tersebut telah disepakati bersama antara provider/asuransi atau ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya. Perkiraan waktu lama perawatan (length of stay)/LOS yang akan dijalani oleh pasien juga sudah diperkirakan sebelumnya disesuikan dengan jenis diagnosis maupun kasus penyakitnya.
Ketepatan pengkelasan CBGs (CBGs grouping) sangat tergantung kepada ketepatan diagnosis utama. Diagnosis utama akan menentukan MDC (Major Diagnostic Category) atau sistem organ yg terlibat. Tingkat keparahan penyakit (severity level) ditentukan oleh diagnosis sekunder, prosedur dan umur pasien. Ketepatan jumlah biaya rawatan pasien ditentukan oleh ketepatan pengkelasan CBGs dan pemilihan diagnosis Mengikuti standar resmi WHO dalam pengkodean diagnosis (WHO Morbidity Refference Group) mengikuti standar resmi aturan koding ICD X dan ICD 9-CM .
Paket layanan kesehatan yang didapat pasien merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan. Di dalamnya mencakup jenis obat dan kelas perawatan bila harus menjalani rawat inap. Sistem ini sangat efisien sehingga ada standar mutu pelayanan yang seragam bagi warga yang membutuhkan. Konsep INA-CBG’s disusun Kementerian Kesehatan, sistem pembayaran ini akan diterapkan di seluruh Indonesia. Berbeda dengan program jaminan kesehatan yang pernah ada sebelumnya, INA-CBG’s dapat dikontrol dengan lebih baik. Perbedaan paling mendasar adalah ada atau tidaknya standar layanan kesehatan dimana dulu, klaim yang diajukan rumah sakit tidak terkontrol. Model paket pelayanan esensial rumah sakit itu seolah-olah tidak ada batasan klaim pasien hingga berpengaruh di pelayanan yang bervariasi atau tidak merata.
Selama ini yang terjadi dalam pembiayaan kesehatan pasien di sarana pelayanan kesehatan adalah dengan Fee-for-service (FFS), yaitu Provider layanan kesehatan menarik biaya pada pasien untuk tiap jenis pelayanan yang diberikan. Setiap pemeriksaan dan tindakan akan dikenakan biaya sesuai dengan tarif yang ada di Rumah Sakit. Tarif ditentukan setelah pelayanan dilakukan. Dengan sistem fee for service kemungkinan moral hazart oleh pihak rumah sakit relatif besar, karena tidak ada perjanjian dari awal antara pihak rumah sakit dengan pasien, tentang standar biaya maupun standar lama waktu hari perawatan (length of stay). Sistem INA-CBG’s, mengantisipasi hal-hal semacam itu terus terjadi, dengan INA-CBG’s rumah sakit dituntut memberikan pelayanan sesuai standar, dan yang paling penting tak mengejar profit semata.
Menurut Depkes RI, 2008 sebagian besar rumah sakit di Indonesia yang menerapkan sistem case mix / INA-CBG’s belum dapat membuat diagnosis yang lengkap dan jelas berdasarkan ICD-10 serta belum tepat pengkodeannya. Apabila informasi yang dicantumkan pada dokumen rekam medis penulisannya tidak lengkap, maka kemungkinan kode diagnosis juga tidak akurat dan berdampak pada biaya pelayanan kesehatan. Ketidakakuratan kode diagnosis akan mempengaruhi data dan informasi laporan, ketepatan tarif INA-CBG’s yang pada saat ini digunakan sebagai metode pembayaran untuk pelayanan pasien jamkesmas, jamkesda, jampersal, askes PNS yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) di Indonesia. Apabila petugas kodefikasi (coder) salah dalam menetapkan kode diagnosis, maka jumlah pembayaran klaim juga akan berbeda. Tarif pelayanan kesehatan yang rendah tentunya akan merugikan pihak rumah sakit, sebaliknya tarif pelayanan kesehatan yang tinggi terkesan rumah sakit diuntungkan dari perbedaan tarif tersebut sehingga merugikan pihak penyelenggara jamkesmas maupun pasien (Pujihastuti, A., & Sudra, R. I. 2014).
Menurut Widayanti (2016) Tingkat ketidaksesuaian kode diagnosis rawat jalan pada rekam medis rawat jalan dan software INA CBGs mencapai 22%.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014tentangpetunjuk Teknissistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs),Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 795
Kesehatan, A. F. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 455/MENKES/SK/XI/2013.
Pujihastuti, A., & Sudra, R. I. (2014). Hubungan Kelengkapan Informasi dengan Keakuratan Kode Diagnosis dan Tindakan Pada Dokumen Rekam Medis Rawat Inap. Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia, 2(2).
Widayanti, N. A., Mardiyoko, I., Kusumawati, Y., & Kes, S. M. Hubungan Karakteristik Petugas dengan Kesesuaian Kode Diagnosis pada Rekam Medis Rawat Jalan dan Software INA CBGs di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
Leave a Reply